Berkunjung ke Pelosok Jepang
Akhirnya, setelah sekian abad ga update di sini, dashboard nya debuan. Ternyata adaptasi tinggal di tempat baru secara fisik dan psikis lumayan menguras waktu juga. Terlebih terkait tugas, kuliah, dan bahan bacaan akademik yang setiap hari harus dikonsumsi. Untung masih ada doi yang menenangkan hati (haish). Di kesempatan singkat kali ini, mungkin bakal share dikit tentang field work terakhir kemaren ke tempat yang lumayan pelosok sih, tapi pelosoknya Jepang aksesnya tetep mantul lancar jaya.
Jadi, nama lokasinya adalah Noto Peninsula, dari Tokyo sih kemaren naek pesawat gratisan kurang lebih 1 jam dari Haneda ke Noto-Satoyama Airport. Tempatnya memang masih daerah perdesaan, dan juga telah diakuisisi sebagai Globally Important Agricultural Heritage System (GIAHS) oleh FAO. Kurang lebih ya karena area Noto ini sangat dijaga kelestarian lanskapnya termasuk sistem pertanian tradisional dan kebudayaannya. Selama ekskursi, kebetulan kali ini ga cuma bareng temen seangkatan (yang cuma ber-tiga belas itupun kalau ikut semua), tapi juga bareng beberapa student dari berbagai universitas kaya dari Tohoku, Nagoya, dan Kyoto yang juga berasal dari berbagai negara berbeda.
Field work kali ini memakan waktu tiga harian kurang lebih, dan kita mengunjungi berbagai situs pelestarian budaya dan mata pencaharian lokal. Selain sawah, ada rumah pendidikan, kerajinan pembuatan kertas, rumah makan, budidaya kerang, sampai pasar yang semuanya khas tradisional Jepang. Meskipun kesannya jalan-jalan, tapi tetep sambil penelitian karena diskusi, presentasi, dan laporan di hari terakhir dan seterusnya telah menanti. Overall sih biasa aja ya (karena emang kulo/simkuring/bak memang dari dusun), maksudnya kondisi perdesaan ya begitu lah seharusnya; sepi, tenang, udara seger, pemandangan bagus, dan pastinya ga malah banyak asep yang bikin ga sehat ngalah-ngalahin kota yang macet aja! (sorry offset). Bedanya satu sih, anginnya ga kira-kira, dingin nusuk-nusuk tulang. Ohiya, ngeliat foto dibawah ini kalau diinget-inget sih mirip sewaktu naik perahu juga di Danau Batur untuk nyeberang ke Desa Trunyan, Bali di tahun 2016 yang lampau bareng anak-anak Geo 13 (nostalgia?).
Anyway, sebenernya di tulisan kali ini inti yang mau di jadiin umpan lambung sebagai bahan diskusi dan pemikiran adalah permasalahan yang sedang dialami oleh Jepun, baik secara general maupun spesifik kaya di daerah Noto ini. Hal ini juga yang mendasari kenapa kita dibawa jalan-jalan ke sini, karena mereka (orang lokal baik masyarakat, akademia, maupun pemangku kebijakan) memerlukan insights dari kita-kita yang asalnya dari bumi yang dibelah-belah (utara, barat, selatan, timur, mana lagi?). Nah masalahnya apa? Kita lanjut dibawah setelah makan menu vegetarian khas Noto ini ya!
Sekedar candaan aja, jadi sejak turun dari pesawat sampai ke persinggahan pertama, saya cuma bisa nge-spot beberapa orang (ga sampe lima orang kalau ga salah), dan semuanya udah tuwir alias kakek-nenek. Ya betul, masalah yang udah umum terdengar bagi negara matahari terbit ini yaitu ageing population, bahkan shrinking population. Jadi, kebanyakan orang tua daripada anak muda atau anak kecil. Di piramida penduduk secara keseluruhan sih nampak lah ya, salah satu faktornya karena rendahnya angka kelahiran, dan fasilitas penunjang hari tua disini juga bagus jadi life expectancy nya lumayan tinggi. Terlepas dari itu, di perdesaan kaya Noto ini, semakin parah keadaannya karena sisa-sisa pemuda yang ada pada pindah ke kota, jadi yang asalnya penduduknya terus berkurang jadi semakin memprihatinkan karena yang tertinggal di desa-desa hampir keseluruhan adalah mbah kakung dan putri. Dengan konidisi demikian, otomatis yang menjalankan roda ekonomi dan aktivitas di desa ya para sesepuh tadi. Kasian sih, udah berumur dan kurang prima tapi harus menanggung aktifitas yang berat-berat. Salah satu contohnya selain bertani, kita sempet langsung diskusi dengan kumpulan abah-abah yang lagi motong rumput buat dikumpulin dan dijadiin atap tradisional gitu. Padahal udah dibantu sama relawan (yang sebagian juga mbah-mbah), tapi tetep berat karena proporsi area yang harus di babat sangat luas untuk memenuhi kebutuhan atap dua rumah tradisional saja yang masih bisa dipertahankan.
Oleh karena permasalahan ini, penduduk desa makin berkurang dan diperkirakan sepuluh sampai duapuluh tahun lagi kalau ga ada perubahan signifikan ya bakal pada tutup perkampungannya karena gaada yang menghuni (sedih ga sih). Jadi di akhir trip, kita berkesempatan buat presentasi hasil observasi, interview, dan lain-lain ke pemangku kebijakan setempat (tetep mbah-mbah juga) untuk mengkomunikasikan apa ide-ide cemerlang yang kita usulkan. Dalam grup saya, salah satu ide yang mungkin cocok buat Jepang sebenernya semacem sistem KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang ada di negara kita tercinta. Karena anak-anak muda yang lebih tertarik ke kota ini tetep harus dikenalkan sama desa-desa mereka, asal-usul nenek moyang mereka. Jadi, bisa dijadiin semacem counter-urbanization gitu lah ya, meski penduduknya makin sedikit at least dengan adanya sirkulasi anak muda ke desa-desa, bakal ada potensi mereka buat tertarik tinggal di desa di masa depan buat bisnis, project, penelitian, atau bahkan hal-hal out-of-the-box lainnya. Karena orang-orang yang kami temui ga sedikit yang dulunya tinggal di Tokyo atau kota besar lain yang akhirnya memutuskan untuk berbisnis dan menetap di desa. Tentu keberadaan orang-orang seperti mereka sangat membantu warga sekitar yang semakin menua untuk bertahan mengelola perkampungannya.
Hmm, oke kurang lebih itu sih yang mau dibagiin pada kesempatan langka ini. Umpan lambungnya sekali lagi ya masalah yang dialami Jepang ternyata berbanding terbalik dengan kita dalam hal jumlah populasi manusia. Kalo kita kebanyakan/numpuk di suatu pulau/lokasi, kalau disini semakin berkuang ditambah pada pindah ke kota semua. Dalam benak pasti sekilas terfikirkan juga sih, wah jadi populasi banyak juga ga buruk-buruk amat ya? Justru kalau kekurangan jadi makin repot. Haha. Tapi ga juga begitu sih, intinya tetep pada prinsip keberlanjutan (sustainability), di mana antara potensi dan kapasitas tetep harus seimbang dan bisa terus berlanjut untuk generasi masa depan. Ya saya juga belum tau apa-apa, jadi mari belajar bersama-sama demi kemajuan bangsa dan kemakmuran bersama (bukan kampanye).
Sekian para pembaca sekalian, mohon di maklum kalau bahasanya campur aduk gak jelas ya. Tapi emang inti dari situs ini supaya unek-unek tersampaikan tanpa ada barriers penulisan, bahasa, dan aturan njelimet lainnya. Karena sejatinya semua itu selalu dilakukan saat menulis selain di sini, jadi tempat ini jadi bahan #acadmicwritingescape aja. Meskipun begitu, saya tetep usahain supaya apa yang di post tetep ada pembelajaran dari perjalanan yang saya lalui. Aamiin. Sampai jumpa di kesempatan langka lainnya!
Sasazuka, Tokyo, Jepang — 20 November 2019
Agung Prasetyo