Harus Gagal 16 Kali, Baru Bisa Kuliah di Luar Negeri

Agung Prasetyo
8 min readJul 13, 2019

--

Cita-cita itu biasanya sebuah hal yang diidamkan dengan asumsi keindahan, kenikmatan bahkan kebanggaan didalam sebuah pencapaian. Wujudnya bisa bermacam-macam tergantung dari persepsi dan kemampuan masing-masing. Saya juga tak luput untuk punya sebuah cita, yaitu pengen bisa lanjut kuliah di luar negeri. Terdengar simpel sih mungkin di masa sekarang, di mana sudah banyak orang bercita-cita sama dengan saya, bahkan sudah mencapainya duluan. Tapi, bagi saya hal ini tetap istimewa meskipun secara logika dan realita diluar kemampuan khususnya dari segi finansial. Oleh karena itu, jalan beasiswa yang terkadang (hampir semua) rasio pendaftar dan yang diterimanya tidak masuk diakal jomplangnya harus ditempuh, at least dicoba!

Kepengenya sih sudah lama, tapi baru ngawang-ngawang. Dimulainya perjuangan cari beasiswa ya sejak lulus kuliah untuk belajar bahasa Inggris dan tes IELTS (ada di cerita sebelumnya). Perjuangan awal Alhamdulillah bisa dilewati dengan kerja keras yang sangaaaat ekstra. Tapi ternyata itu belum ada apa-apanya, karena semua benar-benar baru dimulai. Hahaha. Saya pun kadang ketawa sendiri kalau inget masa di mana merasanya yes! One step closer! Betul sih one step closer, but it might have thousands more, or even several incredibly long paths you haven’t seen yet. Cuma jangan jadi down ya, justru mungkin dari satu kepercayaan diri itu yang turut membangun keyakinan untuk terus berjuang tanpa patah arang, ambil hikmahnya.

Oke langsung aja lah ya, setelah punya IELTS buat salah satu syarat kunci itu, saya memulai proses aplikasi beasiswa Master di luar negeri. Personally, saya ga terlalu matok negara mana sih dan kampus apa, cuma kalau bisa ya di Eropa dan kampus top lol. Yang saya patok sebenarnya lebih ke jurusannya, karena background S1 Pendidikan Geografi, pengennya ya ambil expertise di ilmu geografi murni (lingkungan atau manusia) atau kependidikannya. Semua tergantung preferensi masing-masing lah ya masalah ini, kalo saya related ke visi mau berkontribusi apa dan jadi apa di masa mendatang (butuh pembahasan sendiri ini) wkwk.

Untuk kronologinya, saya bagi dua periode pendaftaan berdasar tahun akademiknya ya. Karena untuk beasiswa luar negeri itu hampir semua pendaftarannya setahun atau minimal enam bulan sebelum perkuliahan dimulai. Jadi, pertama untuk aplikasi perkuliahan yang dimulai pada tahun 2018/2019 saya mulai hunting dalam rentang waktu Juni 2017 sampai Desember 2018. Total aplikasi setelah saya coba hitung ulang ada 13 aplikasi, ckckck. Bagi saya segitu udah sangat menguras tenaga sih, karena syarat dan prosesnya itu warbyasaaaa.

Sebagai gambaran, syarat umum buat apply beasiswa luar negeri diantaranya seperti form pendaftaran, motivation letter/essays, proposal riset, surat rekomendasi dari atasan/supervisor, application fee, dan sebagainya. Syarat-syarat di atas itu yang harus kita buat/dapatkan, diluar dari dokumen yang biasanya kita udah punya dan tinggal translated/legalised kaya ijazah, transkrip, paspor, dan lain-lain. Nah karena syarat yang di atas tadi itu harus dibuat dan atau didapatkan, itu membuat mereka unique atau bisa dibilang masing-masing butuh perjuangan juga mulai dari tenaga, biaya dan waktu, woah mantul pokoknya. Saya kasih contoh, misalnya reference letter atau surat rekomendasi yang jadi salah satu aspek butuh perjuangan lebih. Kenapa? Karena kita secara pribadi harus minta bantuan ke pemberi rekomendasi untuk bersedia mengisi form yang disediakan dan memberi tandatangan beserta cap institusinya. Jelas saja dalam prosesnya butuh banyak tahap dan konsolidasi, otomatis juga memakan waktu dan tenaga (apalagi kalau harus dateng langsung ke pemberi rekomendasi dan beda kota).

Tapi saya bersyukur sekali karena di masa-masa perjuangan ini, ada orang-orang yang selalu bersedia dimintai bantuan dan direpotkan, semoga Allah membalas kebaikan beliau-beliau. Salah satunya dosen saya yaitu Dr. rer. nat. Nandi, M.T.,M.Sc., yang selalu berkenan membantu, meski saya berpuluhkali kembai dengan kegagalan. Hiks. Haturnuhun pisan, pak. Saya belajar banyak dari keikhlasan bapak. Selain rekomendasi, syarat lain seperti biaya pendaftaran juga lumayan bikin goyah hati sedari awal bahkan sebelum daftar, haha. Tapi tenang, hampir semua pendaftaran biasanya gratis. Sejauh pengalaman saya, beberapa yang meminta application fee misalnya saat mau daftar beasiswa Swedish Institute, waktu daftar ke kampusnya diminta fee sekitar 1,6 juta rupiah (NOT refundable). Jadi, kalau gagal ya hangus, kaya saya, dua kali lagi. lol.

Alright, kembali ke poin periode pendaftaran, yang pertama tadi 13 aplikasi ya dengan segalarupa syarat yang sedikit saya paparkan di atas. Diantara tiga belas itu, semua hasilnya adalah………FAILED. Yup, semua belum rejeki saya. Kebanyakan ditolak mentah-mentah, dan sebagian diterima kampusnya saja alias disuruh self-funding (jiwa missqueenku berontak) wkwk. Dengan hasil rata bak dilindes truk, sudah pasti semangat dan motivasi saya hancur lebur (bohong kalo bilang engga, atau sok kuat). Harap maklum, namanya juga manusia yang lemah, hehe.

Tapi, karena sertifikat IELTS masih berlaku kurang lebih enam bulan lagi (terhitung mulai dari awal tahun sampai Juni 2019), dan orang-orang terdekat saya tetap memberikan semangat yang positif, saya coba bangkit. Hmmm it’s really hard to imagine, building your spirit again after total failure of the year feels like you have to come back from death. And, as far as I know, only prophet-level could do that or a man in legend like Heracles. Sorry ya agak lebay, tapi kurang lebih begitulah rasanya saat itu. Akhirnya, setelah dikuat-kuatin, untuk periode kuliah 2019/2020 dari banyaknya peluang, saya cuma mampu mendaftar di 3 beasiswa. Drastis ya dari tiga belas ke tiga saja. Ya, selain IELTS habis di Juni, faktor terberat ya motivasi tadi, yang sudah jauh menurun.

Btw, saya waktu itu bukan niat menyerah, tapi lebih tepatnya mau mengganti strategi. Dipikir-pikir, ketimbang berjuang balik ke awal kaya pas mau tes IELTS dulu langsung saat itu juga, saya pikir lebih baik saya fokus mengumpulkan pengalaman bekerja, dan membangun hal-hal lain yang lebih dekat realitasnya di waktu itu. Jadi, suatu saat saya kembali berjuang untuk beasiswa, amunisi saya jauh lebih tajam dan berbobot. Tapi, ternyata oh ternyata. Baca sampe abis ya hehe.

Jadi berapa total aplikasi beasiswa saya selama dua tahun? Ya kurang lebihnya ada 16 (enam belas). Saya kurang tahu segitu termasuk banyak atau sedikit, tapi dengan kuantitas dan kualitas yang saya rasakan, it was painful though. But as you all have ever heard, no pain no gain! Dari total dua tahun itu, semua detail kampus dan beasiswa yang saya pernah apply bisa dilihat list nya dibawah ini ya!

1. LPDP RI Luar Negeri — gagal di online assessment
2. StuNed, Belanda — gagal, self funding (diterima tanpa syarat di University of Amsterdam, Human Geography)
3. Australia Awards Scholarship — gagal di tahap shortlist
4. New Zealand ASEAN Scholarship — gagal di tahap shortlist
5. Eric Blueminc Sholarship, Belanda— gagal, self-funding (diterima tanpa syarat di University of Groningen, Cultural Geography)
6. Swedish Institute Study Scholarship — gagal, self-funding (diterima tanpa syarat di Lund University, Human Geography)
7. VLIRUOS, Belgia — gagal (diterima tanpa syarat di KU Leuven, Sustainable Development)
8. Yenching Academy of Peking University, China — gagal di tahap shortlist
9. Louis Dreyfus Scholarship, Oxford U.K. — gagal di tahap shortlist
10. Chinese Government Scholarship — gagal di tahap shortlist
11. LPDP RI Luar Negeri — gagal di tahap Computer Based Test
12. Amsterdam Excellence Scholarship — gagal di tahap shortlist
13. DAAD, Jerman — gagal di tahap shortlist
14. Swedish Institute Study Scholarship — gagal, self funding (diterima tanpa syarat di Linkoping University, Sustainability Education)
15. VLIRUOS, Belgia — waiting list, karena gaada yang mundur jadi diminta self funding (diterima tanpa syarat di KU Leuven, Sustainable Development)
16. United Nations University-Institute for the Advanced Study of Sustainability — gagal di tahap interview, tapi ada keajaiban.

Akhirnya, bisa ter-list juga. Itulah bukti nyata berjuang selama dua tahun, jadi kalau biasanya yang nampak di orang-orang adalah bahagianya saja, hmm I would say no. Wait, ada yang aneh kah dari list nya? Hehe, oke kita bahas sedikit ya, jadi di kegagalan terakhir itu…., saya bilang gagal karena emang saya sudah terima email yang menyatakan bahwa saya tidak terpilih sebagai salah satu penerima beasiswa, kurang lebih dapet email itu di akhir April. Hal itu pula yang menjadikan saya semakin berserah, ya sudah, saya sudah pasrahkan semua ke yang di atas. Kalau memang segini saja saya diberi kesempatan untuk berjuang, saya ikhlas. Dan bersiap ganti strategi untuk fokus kerja dulu.

But, a miracle comes in the holy month of Ramadan. Saya dapet email dari kampus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang yang menyatakan bahwa mereka memiliki skema beasiswa baru, dan saya langsung terpilih menjadi salah satu successful candidates. Saya terima email tersebut di awal Mei, diawal bulan puasa. Kaget? Seneng? Bingung? Campur aduk. Sejujurnya saya lantas berfikir, ah salah kirim kali nih. Atau, hmmm jangan-jangan disuruh self funding lagi wkwk. JAdi balasan saya terhadap email tersebut bukan langsung mengiyakan bersedia atau tidak. Tapi malah NANYA, kira-kira nanya gini: moshi-moshi, ini beneran kagak ya?Ato salah kirim mba? Hahaha. Tapi syukur Alhamdulillah, ternyata memang benar program tersebut adanya. Justru, nominal beasiswanya sedikit di atas dari yang awalnya saya lamar dan ditolak di kampus tersebut. Lagi dan lagi, Ahamdulillah.

Bulan puasa memang sesuatu bagi saya, flashback ke hasil IELTS yang tidak terduga juga di momen bulan puasa tahun 2017, siapa sangka di bulan puasa dua tahun kemudian juga lah (saat IELTS nya hampir kedaluwarsa) kabar baik itu datang kembali. Email ditolak dan email ke dua saya diterima bisa dilihat dibawah ini!

Sumber: Dokumen Pribadi

Alhamdulillah, thank God. Perjalanan dan pemberian jatah gagal selama dua tahun tersebut akhirnya ada maknanya. Andaikan saya dengan mudah diterima dan mendapat keinginan saya, mungkin saya bisa menjadi sombong, mungkin jadi kurang bersyukur, mungkin juga jadi tidak bermakna. Saya belajar banyaaaak sekali makna yang mendalam dari skenario yang diluar kepala ini. Bahwa rencana yang maha kuasa memang lebih, lebih dan jauh lebih indah. Semoga dari perjalanan dan perjuangan saya ini dapat menjadi bahan refleksi dan motivasi, khususnya saya pribadi untuk terus dan tanpa lelah berusaha menjadi orang baik. Karena tanpa kebaikan dan dukungan keluarga serta orang terdekat, semua mungkin sudah luntur dan tak semenarik ini.

UN University Headquarter, Tokyo
Sumber: google

Well, sekarang saya sedang di tahap mengurus dokumen untuk pembuatan visa pelajar di Jepang. Kampus yang menerima saya tersebut adalah institusi pendidikan langsung dibawah naungan United Nations (PBB) berlokasi di Tokyo, sehingga ditempat tempat saya belajar nantinya yaitu program Master of Sustainability Science, pengajarnya selain dari staf akademik yang sudah berkecimpung di penelitian dan project untuk kepentingan umat manusia, juga praktisi ahli langsung oranisasi PBB dari berbagai belahan dunia.

I am sure, it is the best place that the God prepares for me. Penjelasan detail kampus ini dan proses aplikasinya juga sepertinya menarik sih dibuat thread sendiri wkwk okay hopefully later on! Akhir kata, mohon doanya supaya segala sesuatunya diberi kebermanfaatan. Semoga kisah kecil ini bermanfaat. Jadi, kalau ada yang nanya gimana caranya biar ga gagal? Ya coba lagi aja!

Pancoran, Jakarta Selatan — Indonesia, 13 Juli 2019
Agung Prasetyo

--

--